-Koleksiku- (Thresh)


Thresh mendekati sebuah gubuk. Dia mengacungkan lenteranya, bukan untuk melihat dalam kegelapan, tapi melihat apa yang ada di dalamnya. Keindahan lentera tersebut dihiasi oleh ribuan orbs yang melayang di dalamnya seperti kunang-kunang. Mereka terus mencoba menghilang dari tatapan Thresh. Setiap roh sangat berharga sekali untuk Thresh.
Di balik pintu, seorang lelaki bersembunyi. Thresh merasakan penderitaannya, dan berniat menambahnya. Thresh mengenal penderitaan yang dia rasakan. Seperti teman lama.
Thresh pernah sekali mendatanginya, tapi berpuluh-puluh tahun yang lalu, sebelum semua orang direnggut oleh kekuatan sihir yang sangat besar: dari mulai kuda kesayangannya, kakak, dan juga pengawal dekatnya. Dia tidak ingin manusia menemukan kematian alaminya; mereka harus tahu sebab dari setiap penderitaan.
Sang roh kematian ini bergerak menembus pintu, dengan rantai baja yang dia seret di belakangnya. Dinding ruangan tersebut dibaluti oleh lumut dan juga kotoran. Tapi lelaki tersebut malah terlihat lebih buruk lagi; rambut panjangnya yang kusut, dengan disertai oleh kulit yang sangat kotor – kemarahan dan juga kebencian. Baju yang dia gunakan juga sudah terlalu rusak untuk dibilang sebuah baju. Penuh robekan.
Lelaki itu terkejut dalam kesilauan yang menyelimuti matanya. Dia bergetar, mundur ke pojok ruangan.
“Kumohon. Kumohon, jangan kamu lagi,” dia berbisik.
“Dulu, aku menjadikanmu milikku.” suara Thresh berbisik tajam, seperti sudah lama dia tidak berbicara ribuan tahun. “Inilah waktu yang tepat...”
“Aku sekarat,” katanya, suaranya mulai hilang. “Jika kau ke sini untuk membunuhku, cepatlah.” Dia mencoba melihat ke arah Thresh.
Thresh membuka mulutnya lebar-lebar. “Kematianmu bukanlah tujuanku.”
Dia membuka pintu lenteranya menjadi sedikit terbuka. Suara teriakan aneh dan mengerikan terdengar dari dalamnya.
Lelaki itu tidak banyak bereaksi, tidak seperti sebelumnya. Terlalu banyak teriakkan yang dia dengar di pikirannya. Tapi matanya terbuka lebar dan tersadar setelah dia mendengat suara dari lentera Thresh. Dia mendengar ibunya, kakaknya, temannya dan juga suara yang sering dia dengar: anak-anaknya, yang meratap seperti dibakar hidup-hidup.
“Apa yang telah kau lakukan?” dia berteriak. Dia mencari apapun untuk bisa dilemparnya – sebuah serpihan kursi – lalu dilemparkannya ke arah Thresh dengan semua kekuatan yang tersisa. Tapi yang terjadi hanyalah benda itu menembus melewati tubuhnya, Thresh hanya bisa tertawa.
Lelaki itu berlari ke arah Thresh, dengan amarah dan juga emosi. Terlihat rantai membelit seperti sebuah ular. Rantai kemudian dilempar dan menancap di dadanya. Menghancurkan tulang rusuknya dan menembus jantungnya. Dia pun terjatuh, dengan wajah yang dipenuhi penderitaan.
“Aku meninggalkan keluargaku untuk menyelamatkan mereka,” katanya sambil menangis. Darah mengucur dari mulutnya.
Thresh menarik rantainya. Untuk beberapa saat, lelaki itu tidak bergerak. Kemudian semuanya dimulai. Rantai ditarik menegang lurus, terlihat sesosok jiwa terlebas dari badannya dengan darah yang mewarnai dinding ruangan.
“Sekarang, kita mulai,” kata Thresh. Dia menarik jiwa yang telah dia dapatkan, berdenyut dari ujung rantai menuju ke dalam lentera. Mayat lelaki itu tergeletak dan Thresh pun pergi.
Thresh berjalan mengikuti ke mana arah Black Mist hilang dari penglihatan. Baru setelah Thresh pergi, dan tidak ada asap yang menyelimuti, serangga dan binatang malam lainnya mulai bersuara lagi menghiasi indahnya malam hari.
Comments
Post a Comment